Jakarta – Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo mengetahui ada konflik batin yang dirasakan oleh dua Direktur Jenderal di Kementeriannya terkait pelaksanaan ekspor benih lobster. Konflik batin dua pejabat itu adalah Dirjen Perikanan Tangkap Zulficar Mochtar dan Dirjen Perikanan Budidaya Slamet Soebjakto.
Edhy mengatakan konflik batin itu kentara saat dia meminta keduanya menjadi tim due diligence terkait penerbitan izin ekspor benur. “Saya tahu secara prinsip ada rasa conflict of interest batin di antara dirjen-dirjen ada di zaman saya ini,” kata Edhy saat bersaksi dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu, 17 Maret 2021. Duduk sebagai terdakwa dalam sidang ini, Direktur PT Dua Putera perkasa Suharjito yang didakwa menyuap Edhy supaya mendapatkan izin ekspor benur.
Edhy melanjutkan tidak mengganti sama sekali Dirjen yang sudah menjabat sejak era Menteri KKP Susi Pudjiastuti. Sebagaimana diketahui, kebijakan ekspor benur bertolak belakang di era dua menteri ini. Susi gencar melarang ekspor bayi lobster, sebaliknya Edhy justru mengizinkan.
Izin ekspor termuat dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 11 Tahun 2020 yang mengatur pembukaan keran budidaya dan ekspor benih lobster. Aturan itu menggantikan Permen KP Nomor 56 Tahun 2015 era Susi Pudjiastuti.
Edhy mengatakan kedua Dirjen itu enggan untuk melaksanakan peraturan baru tersebut. Mereka beralasan sudah banyak pekerjaan, sehingga tak mau menjadi tim uji tuntas. Edhy sempat sewot karena penolakan itu. “Ini Permen sudah keluar. Kalau hanya jadi stempel saja tidak ada gunanya,” ujar Edhy.
Karena ada penolakan, akhirnya Edhy menunjuk dua staf khususnya, yaitu Andreau Pribadi Misanta dan Safri menjadi tim due diligence. “Saya suruh minta jalan saja dulu sementara,” ucap Edhy.
Kebijakan baru ini kemudian menyeret Edhy Prabowo dan kedua stafsusnya menjadi tersangka. KPK menduga Edhy menerima uang suap dari pengusaha terkait perizinan ekspor benur. Salah satu pengusaha itu adalah Suharjito yang didakwa menyuap Edhy Prabowo dkk sebanyak US$ 103 ribu dan Rp 706 juta untuk mendapatkan izin ekspor benur.
(Sumber TEMPO)