Penulis : Beni Hernedi Ketua DPC PDIP Musi Banyuasin
MUBA – Dalam demokrasi yang sehat, pemilihan kepala daerah seharusnya menjadi ajang untuk mengadu gagasan, visi, dan program yang ditawarkan para calon kepada masyarakat. Namun, praktik politik uang kerap kali mencemari proses tersebut, terutama di daerah-daerah yang rentan terhadap pembelian suara. Dalam konteks Pilkada Musi Banyuasin (Muba), fenomena politik uang bukanlah sesuatu yang baru. Namun, ada satu hal yang bisa mengubah dinamika politik lokal ini: citra calon bupati yang baik dan efektif.
Mengapa Politik Uang Masih Menjadi Masalah? Politik uang tetap eksis karena pemilih sering kali merasa bahwa pemberian uang atau barang adalah kompensasi langsung dan instan. Mereka khawatir janji-janji program yang muluk-muluk dari kandidat tidak akan terwujud. Akhirnya, menerima uang dari tim sukses dianggap sebagai “jaminan” yang lebih nyata, meskipun pada akhirnya hal tersebut merusak esensi demokrasi itu sendiri.
Namun, di tengah ancaman politik uang, ada kekuatan lain yang bisa mematahkan budaya ini, yaitu citra politik yang kuat. Citra yang baik bukan hanya tentang logo atau slogan, melainkan tentang kesan yang ditanamkan dalam benak masyarakat, serta janji konkret yang diyakini pemilih akan diwujudkan oleh calon tersebut.
Membangun Kesan dan Kepercayaan Calon bupati yang mampu membangun kesan yang kuat akan fokus pada kepercayaan jangka panjang, bukan pada keuntungan jangka pendek. Dalam Pilkada Muba, calon yang memperlihatkan komitmen yang tulus kepada rakyat, serta menunjukkan kapasitas untuk mengatasi masalah-masalah utama di Musi Banyasin seperti infrastruktur, pendidikan, dan pelayanan kesehatan, akan lebih mudah menarik simpati dan dukungan dari masyarakat.
Di sini, penting bagi calon untuk hadir secara nyata, membangun kedekatan dengan masyarakat melalui program-program yang dirasakan langsung manfaatnya. Masyarakat cenderung mempercayai calon yang mereka kenal, yang sering hadir dalam kehidupan mereka, dan yang mereka yakini mampu menghadirkan perubahan. Citra bukan hanya tentang kesan yang dipoles media, tetapi juga tentang bagaimana seorang calon menjalankan kampanye dengan nilai-nilai kebaikan umum.
Dalam kesan yang baik, setiap janji dan visi calon bupati harus dikomunikasikan dengan jelas dan konsisten. Melalui kampanye dialogis, debat terbuka, dan turun langsung ke lapangan, calon dapat menjelaskan bagaimana setiap programnya akan dijalankan. Dengan cara ini, masyarakat akan merasa dilibatkan dalam proses, bukan sekadar menerima janji kosong atau uang sogokan yang cepat habis manfaatnya.
Ketika calon bupati berhasil membangun hubungan emosional yang kuat dengan pemilih—dengan berbicara dari hati ke hati dan menawarkan solusi nyata—politik uang akan terasa murahan. Uang yang ditawarkan untuk satu hari, sebulan, atau bahkan beberapa tahun, tidak akan sebanding dengan harapan hidup yang lebih baik dalam jangka panjang. Di sinilah citra yang baik bekerja untuk menggugah kesadaran pemilih bahwa mereka berhak atas pemerintahan yang lebih baik daripada yang bisa “dibeli” dengan nominal tertentu.
Di beberapa daerah, kita sudah melihat bagaimana calon yang memiliki citra kuat berhasil mengalahkan lawan yang mengandalkan politik uang. Mereka yang menang bukanlah mereka yang paling banyak membagikan amplop, melainkan yang berhasil membangun narasi perubahan, kepercayaan, dan kredibilitas di mata masyarakat. Di Pilkada Muba, hal ini pun bisa terjadi, asalkan calon yang memiliki niat tulus untuk memimpin mampu memanfaatkan kekuatan kesan ini secara maksimal.
Namun, membangun citra politik bukan tanpa tantangan. Di daerah yang sudah terbiasa dengan politik uang, mengubah pola pikir pemilih bukanlah pekerjaan mudah. Di sinilah perlunya pendekatan edukasi politik yang kreatif dan masif. Calon bupati harus mampu memanfaatkan media sosial, iklan kampanye, dan berbagai forum masyarakat untuk menyebarkan pesan-pesan tentang pentingnya memilih dengan cerdas.
Citra yang baik juga harus inklusif calon tidak hanya harus bisa menarik simpati dari kelompok pemilih tertentu, tetapi juga dari berbagai lapisan masyarakat, baik yang tua maupun muda, dari pedesaan hingga perkotaan. Pendekatan yang berbasis pada solusi nyata terhadap masalah lokal—seperti perbaikan jalan, layanan kesehatan gratis, atau penyediaan lapangan pekerjaan akan jauh lebih efektif daripada pemberian uang sesaat.
Akhirnya, masa depan Musi Banyasin akan ditentukan oleh kesadaran bersama bahwa politik uang hanya akan menghambat perkembangan daerah. Pemimpin yang dipilih karena uang tidak akan bekerja untuk rakyat, melainkan untuk mengembalikan “investasi” mereka.
Sebaliknya, calon bupati yang berhasil membangun kesan kuat yang menunjukkan komitmen dan kapasitas untuk menghadirkan perubahan akan mampu menggugah kesadaran masyarakat untuk memilih berdasarkan visi yang lebih baik. Ketika citra calon kuat, politik uang akan kalah karena masyarakat akan melihat jauh ke depan, memilih pemimpin yang bisa mengangkat Muba ke level yang lebih tinggi, bukan sekadar yang menawarkan keuntungan sesaat.
(Istimewa)